Sejak lebih kurang setahun yang lalu, media di kota Bandung memberitakan kontroversi seputar rencana Walikota Bandung, Dada Rosada, untuk mendirikan sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Rencana tersebut tampaknya sudah merupakan harga mati bagi pak Wali kota, karena beliau tidak melihat adanya alternatif lain dalam pengelolaan sampah di kota Bandung.
PLTSa istilah yang misleading
Sebetulnya istilah PLTSa tersebut misleading, karena yang dimaksud sesungguhnya adalah sebuah insinerator pemusnah sampah yang hasil pembakarannya dikonversi menjadi tenaga uap untuk menggerakkan generator pembangkit listrik. Istilah umumnya yang digunakan diluar adalah Waste to Energy.
Kekhawatiran terhadap dioksin
Kontroversi muncul karena banyak hal, diantaranya adalah bahwa para pakar lingkungan dan publik khawatir dengan dampak lingkungan yang mungkin akan ditimbulkan oleh PLTSa tersebut, dan yang sangat dikhawatirkan adalah gas beracun yang disebut dioksin. Dioksin biasanya terbentuk dari pembakaran yang tidak sempurna. Efek dioksin bagi manusia bisa fatal. Saat ini pengukuran dan monitoring dioksin sangat mahal dan susah dilakukan. Para pakar lingkungan dan publik meragukan tingkat safety dari PLTSa ini.
Bandung tidak punya track record yang baik dalam pengelolaan sampah
Selain itu, biasanya untuk mendirikan sebuah PLTSa, sebuah kota harus memiliki track record yang baik selama beberapa tahun dalam mengelola sampah kota tersebut. Sayangnya selama ini kota Bandung tidak memiliki track record yang baik dalam pengelolaan sampah. Sampah kota hanya diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang merupakan tempat penumpukan sampah dan bukan merupakan sanitary landfill.
Sampah organik sebaiknya dijadikan kompos dan bukan dibakar
Permasalahan lainnya adalah bahwa komponen utama (sekitar 60 sd 70 %) sampah di kota Bandung adalah sampah organik yang sebaiknya dijadikan sebagai kompos melalui proses composting. Proses composting dapat dilakuakan secara sederhana. Saat ini beberapa best practice dalam pengomposan telah dilakukan warga, diantaranya di RW 13 Sadang Serang yang telah memberdayakan sekitar 100 kepala keluarga dengan proses pengomposan. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah untuk taman di pekarangan rumah, untuk tanaman di taman-taman kota, dan tanaman perkebunan kayu keras seperti yang dikelola Perhutani. Kompos dari sampah organik yang langsung diproses pengomposannya dan belum tercampur dengan limbah lainnya bahkan dapat digunakan untuk lahan pertanian tanaman pangan atau sayuran.
Prinsip 3R
Pengelolaan sampah semestinya dilakukan secara terpadu dengan melibatkan prinsip 3 R: Reduce, reuse dan recycle. Prinsip tersebut telah disepakati dan dilakukan diseluruh dunia. Pertama sampah kota harus dikurangi bukannya ditambah. Salah satu cara untuk menguranginya adalah memastikan bahwa sayuran yang dibawa oleh padagang dari luar kota dan menjajagakannya di pasar tradisional adalah merupakan sayuran yang sudah bersih. Contoh, pedagang kelapa mestinya hanya membawa kelapa yang sudah tidak memiliki sabut, jagung yang sudah dikurangi daun-daun penutupnya, pisang yang sudah dibuang bonggolnya, dst. Ini dapat dilakukan melalui peraturan daerah, atau minimal dengan peraturan walikota. Dengan cara ini sampah pasar yang biasanya sangat tinggi komponen organiknya dapat dikurangi dengan drastis volumenya, dan ini akan sangat mengurangi beban masyarakat dan pemkot.
34 komentar
Comments feed for this article
Februari 9, 2008 pada 12:12 am
ridho
assalamualaikum, Pak,kalo menurut Bapak, gimana soal spanduk-spanduk yang bertebaran hampir di seantero kota bandung yang mendukung adanya PLTSA? apa edukasi ke masayarakat sdh jalan.
saya setuju dengan bapak sebaiknya pemerintah kota bandung bikin blue print pengelolaan sampah kota bandung dulu, tetep kurang terencana (buktinya kurang ada edukasi.
Untuk dioksin kata teman saya, dioksin akan kembali terurai pada suhu pembakaran yaitu sekitar 750 derajat celcius jd gak begitu masalah.
Februari 12, 2008 pada 1:44 am
taufikurahman
Wa’alaikum salam Ridho, terima kasih atas komentar anda. Soal spanduk-spanduk tersebut menurut saya itu menunjukkan kepanikan pemkot dan PT BRIL dalam menyikapi penolakan pendirian PLTSa oleh para akademisi, LSM dan sebagian besar masyarakat, terutama yang daerahnya berdekatan dengan lokasi PLTSa yang direncanakan. Spanduk-spanduk tersebut juga menunjukkan gagalnya Pemkot dalam melakukan sosialisasi PLTSa ke masyarakat dengan baik. Kita tahu bahwa spanduk yang bertebaran dimana-mana itu mengganggu pemandangan, pemborosan dana dan pemaksaan gagasan bahkan semacam pembodohan kepada masyarakat. Itu juga menunjukkan betapa merasa kepepetnya dan ngototnya pemkot untuk segera merealisasikan PLTSa, tanpa mengindahkan proses studi (FS dan AMDAL) yang lebih komprehensif dan lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena yang dilakukan sementara ini penuh ketergesaan.
Sepakat dengan pandangan anda, pemkot sampai saat ini belum mempunyai blue print pengelolaan sampah yang ecologically, environmentally and technologically sound.
Yang saya tahu, suhu pembakaran harus diatas 850 C agar dioksin tidak terbentuk, dan itu artinya perlu energi yang tinggi, terutama pada saat start up dan shut down yang menggunakan energi fossil fuel (bukan dari sampah itu sendiri).
Salam,
TfR
Maret 12, 2008 pada 9:05 am
Dialog tentang Pengelolaan sampah dan soal PLTSa « Green Life Society
[…] Saya sedikit menulis tentang kontroversi Pltsa ini di web berikut, silakan dikomentari. https://taufikurahman.wordpress.com/kontroversi-pltsa-bandung/ Salam, TfR […]
April 23, 2008 pada 8:36 am
bangzenk
Klo boleh urung rembug, budaya instan semacam PLTSa ini memang kurang baik. Tapi kita juga perlu solusi yang integratif, efektif dan relatif cepat dalam pengaplikasiannya. Karena jika tidak, tentu kendala sampah akan semakin menjadi-jadi.
Belajar dari Belanda, orang terbiasa mengklasifikasikan sampah. Saya setuju budaya itu dibangun (pasti perlu waktu), tapi juga sistem dari pemerintah/walkot bandung juga mesti mendukung. Semisal pemanfaatan TPS yang ada, ada bak khusus sampah gelas/botol/kaca, plastik, dan kertas, terakhir organik.
Ada contoh yang bagus dan sudah diterapkan oleh Pak Renald Khasali di Tangerang kalo tidak salah yang menggunakan sistem “tong”. Itu luar biasa, membangkitkan perekonomian sekitar juga.
Jika memang benar masyarakat memiliki minat dan pemerintah juga punya itikad baik. Bandung bebas sampah rasa-rasanya bukan sekedar mimpi. Apalagi, kalau ada penggerak sekelas Pak Taufikurrahman ini.
Salamhangat,
-dariBelanda
April 23, 2008 pada 10:16 am
mahasiswanegarawan
Ada sebuah cerita :
Suatu hari, walikota bandung berobat ke Singapura karena penyakit stroke-nya kambuh. Ketika diperiksa kepalanya dengan sebuah alat canggih, mirip seperti sinar rontgen. Betapa kagetnya para dokter di rumah sakit tersebut. Ternyata, isi kepalanya kosong alias ga ada otaknya. Pantesan, kalau buat kebijakan kota bandung selalu amburadul, walikota mikirnya pake dengkul.
Mei 18, 2008 pada 1:25 pm
AA Arman
Saya setuju Kang, harus dilakukan upaya untuk mengolahan lokal (di rumah atau di wilayah tertentu), sehingga volume sampah yang harus diolah oleh tahapan berikutnya sudah jauh berkurang. Pemisahan jenis sampah juga merupakan satu hal yang perlu “dipaksakan”, karena selain mempermudah pengolahan sampah, juga secara tidak langsung mendidik masyarakat supaya tertib dan ikut bertanggungjawab terhadap keselamatan lingkungan.
Bayangkan, anak-anak belajar memisahkan sampah di rumah, secara tidak terasa banyak aspek positif yang tertanam dalam diri mereka.
Mei 22, 2008 pada 4:42 am
Esa
Hmm..do it by yourself, n do it from rite now. “Pelatihan” memilah sampah penting, tapi pemilahan di TPS jg harus, karena ga jarang kan Pak sampah sama kita udah diolah, eh ternyata di”sana”nya tetep aja disatuin. Sia-sia sih ngga, tapi kan jadi pemilahan itu ga berguna *sama aja ya ga berguna dengan sia-sia *
Mei 30, 2008 pada 11:11 am
Sholahuddin
Assalaamu’alaikum. Mr. Taufikurahman You are right. I think for every body it’s difficulty to do ( Kelola sampah ) without knowing and understanding, what is compos ?.
Kang Taufikurahman, ie bari ta’aruf ; Abdi ketua RW 13 Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong nu parantos ngalola sampah organik, sumuhun ternyata praktis dan efisien ( maaf bukan WR 13 Sadang Serang yang disebutkan Akang ). yang urgen saat ini harus diupayakan bagaimana membangun budaya peduli lingkungan sendiri, antara lain mengelola sampah berbasis masyarakat.
Juni 20, 2008 pada 8:09 am
najib
Mohon komentar ttg rencana PLN mendirikan PLTSa di Kab bandung. rencananya PLN menggunakan program CSR.
Juli 2, 2008 pada 3:21 pm
Romeltea
Salam. Semoga dipercaya memimpin Bandung. Omat kang… 1. Jangan bangun PLTSa yang hanya akan mengundang bencana lingkungan dan kemanusiaan, 2. Jangan arogan siga incumbent, 3. Hati-hati begundal dan ABS di sekitar Anda (Dada korban begundal yang ABS dan “morotan” duitna), 4. Bangun komunikasi yang baik dengan ormas Islam yang naga-naganya banyak yang udah kehilangan “ruh” akibat dicokok bantuan incumbent… Usul: susun IDEA kampanye yang mengakar, populis, dan tidak terkesan “janji madu”, gerakan tim sukses dan simpatisan untuk on air di setiap acara interaktif di radio-radio di Kota Bandung (bagi tugas aja) untuk membentuk opini publik dan image building tentang TRENDI, jangan lupa sempatkan pantau acara saya, Good Morning Bandung Raya, Senin s.d. Sabtu, pkl. 6-8 pm di radio Shinta 97,2 FM Bandung. Nuhun, eh hilap… salam pangwanoh kang….!
Juli 2, 2008 pada 3:23 pm
Romeltea
KOREKSI dikit kang… bukan 6-8 pm, tapi 6-8 am alias enjing-enjing… Nuhun
Juli 23, 2008 pada 3:50 pm
mamang
Pak taufik yang mungkin terhormat.
Bila bapak tahu tentang sampah dan menolak PLTSa, mengapa tidak secara ilmiah berargumentasi di forum yang kalau tidak salah bapak di undang untuk itu tapi tidak hadir. Tapi lama setelah itu baru ada penolakan dengan argumen bla.. bla… . Saya kira anda hanya memanfaatkan situasi saja, demi secuil dukungan demi meningkatkan popularitas anda. Sungguh pengecut, dengan mengatasnamakan membela kepentingan masyarakat kecil….. sungguh naif. Mengapa bapak tidak berbicara saja dengan baik baik dengan tim ITB, toh itu pun teman -teman bapak juga … dan tidak berteriak teriak demi mencari perhatian….
Sungguh tindakan pengecut dari seorang dosen ITB.
Katanya sih di ITB pun anda kurang di kenal ? …… Jadi ya wajar saja sih kalau anda berteriak teriak … minta perhatian.
Juli 24, 2008 pada 3:42 am
ipang
Asslm. wr. wb.,
Saya sebagai orang yang sering terjun ke petani, dan perkebunan, rasanya memang tepat kalau sampah itu dijadikan pupuk, tetapi tolongdong tidak rumah tangga ada waktu untuk mengubah sampah jadi pupuk, sebenarnya saya sudah mencoba mengolah sampah jadi pupuk, tetatapi stelah mecobanya eh, untuk mengangkut pupuk juga perlu biaya dan tenaga. Untuk itu toolong jelaskan secara jentre, karena sampah di kota bandung adalah masalah prioritas utama, jangan sampai pengelolaan sampah terhenti atau macet mengakibatkan numpuk dan akan timbul penyakit baru. Masalah sampah di kota bandung saat ini kalau tidak salah ditangani oleh PT Bril (Bandung Raya Indah Lestari) dan ada beberapa Investor yang sudah menawarjan untuk mengelola sampah di Kota Bandung, perusahaan asing dari Amerika, London, dan Australia, yang berkantor di Singapura. Kalau pak Taufik jadi walikota bisa kontak saya melalui email ini. Insya Allah akan saya bantu, kami sudah pernah presentasi di BPLHD Jabar, nyaitanya buntu, bukan membantu. Semoga amanah ini dapat dimeban dengan Ridho Allah SWT.
Juli 24, 2008 pada 3:59 am
dhance
Waaaaaah, heubat orang itb makan orang itb, saya sebagai pemilih juga bingung, seperti komentar mamang, mengapa orang itb berkoar-koar bahwa rencana pak dada untuk mengelola sampah dinyakatakan oleh group pak taufik itu suatu hal yang sangat kontra dengan kepentingan masyarakat, pak dada sudah bekerja keras mengelola sampah samapai detik ini dengan cara apapun, agar masyarakat tidak pandai ngomentari. Apa yang akan dilakukukan oleh pak Dada itu sebenarnya masih konsep agar masyarakat mau urun pikir dan merasa peduli, karena pak dada saat ini sudah kejjerat olh masalah yang berkaitan dengan sampah, inga kjadianny sejak SBY mau enghadiri HUT AA di Bandung, dan longsornya leuwi gajah, wah repot, masyarakat pun belopotan karena sampah ternyata numpuk penyakit bau sampah disetiap sudut kota, Alhamdulillah sampai saat ini sampah dapat ditangani oleh pak Dada walaupun sampah belu dapat diolah menjadi yang lebih bermanfaat. Saya kira kajian orang pintar dari ITB bukan teori yang sembarangan, karena disana terdapat pakar orang yang berpendidikan dan bermoral serta beragama, kalau pak taufik dan konco-konco bukan orang munafik, maka sampah bukan jadi senjata bagi pilwalkot, wallahu alam. Coba renungkan orang yang bijak tidak pernah membanggakan diri, dan tidak mengoreksi kelemahan orang lain.
Juli 24, 2008 pada 8:48 am
Sampah Ngasilin Gas beracun???
wah……..mau tanya nich….
maksud dari 3R gimana???? Koq bisa dengan 3R sampah bisa berkurang????
Bukannya masih tetap aja sampahnya…???ga berkurang…??? KAn sampah itu tetap masih kita pake juga…. gimana bisa berkurang samapahnya???
Terus…kita juga masih tetep harus milih-milih sampah donk…. sama aja dong dengan PLTSa. cuma bedanya sampah itu mau di gimanain??? gitu kan?
terima kasih
sukseslah pilwalkot Bandung. Jangan sampai Bandung rusak karena ulah kotor tangan dibelakang pemain pilwalkot ini.
Amien.
Peace
Agustus 15, 2012 pada 3:19 am
shelly asmauliyah
3R ; Reduse, Reuse, Recycle
Sebelum Reuse dan Recycle ada Reduse. Jadi kita wajib mengurangi dahulu. Kadang sampah kita yang berlebihan buka karena kita benar-benar membutuhkan dan kita terlalu dibuai dengan segala yang bersifat instan dan sekali pakai.
Kalau kita semua berhasil melakukan step “REDUSE” sesuai kebutuhan. apalagi sampah organiknya juga dipisah dan dijadikan kompos (dapat menggunakan takakura or biopori), sampah yang akan dibuang ke TPS / TPA jauuuuh lebih sedikit 😀
Juli 24, 2008 pada 12:15 pm
Jalu Pradhono
Semoga Pak Taufik terus konsisten menolak PLTSa di Kota Bandung. Saya sudah dengar pernyataan penolakan Pak Taufik sejak setahun yang lalu. Dan disampaikan di publik dalam acara Masyarakat Revolusi Sampah MARS) di taman Ganesha.
Kalau melihat keahlian Pak Taufik sebagai akademisi di bidang biologi dan ilmu hayati, maka tentu saja saya lebih condong ke Bapak dibandingkan akademisi lain yang pakar dalam hal mesin misalkan. Karena selain bapak, banyak juga koq dosen yang sejalan dengan pedapat bapak tersebut.
Dua tahun lalu ketika terjadi bencana sampah, saya sempat berdiskusi dengan beberapa dosen. Posisi saya ketika itu adalah Sekjen KM ITB, dan diharuskan untuk segera mengambil sikap terkait masalah ini. Ternyata lebih banyak yang menentang solusi PLTSa dibandingkan yang mendukung. Komentar menarik disampaikan oleh Prof Enri Damanhuri dari Teknik Lingkungan :
“..Saya sudah capek dek ngomong ke pemerintah, kalau mahasiswa yang menyuarakan mungkin beda..” ujar beliau. Ir. Denny Zulqaida, MUP., pakar planologi ITB juga pernah menyampaikan bahwa beliau bersama tim ketika diminta pendapatnya tentang masalah sampah memberikan 3 rekomendasi kepada Pemkot, ternyata yang digunakan diluar ketiga rekomendasi tersebut, yaitu PLTSa.
PLTSa memang bermanfaat, jika saja dibuat diluar wilyah cekungan seperti Bandung. Wilayah cekungan ini membuat udara kotor lebih sulit untuk dibawa keluar. Saya tdak keberatan jika ada yang membangun PLTSa di daerah lain. Asal jangan di Kota Bandung. Sebab menurut data BPLHD Jabar tahun 2007, 6 dari 10 anak usia SD di kota Bandung terancam berkurang kecerdasannya karena kualitas udara yang buruk. Bagaimana jika anak kita yang jadi BEGO gara-gara PLTSa ?
Solusi terbaik memang 3R, artinya sampah tidak serta merta dibuang atau dibakar, tapi diolah kembali sehingga memiliki nilai ekonomis. Tapi masyarakat Indonesia khususnya Bandung kan belum terbiasa. Di sinilah peran penting pemerintah dalam mengarahkan kebiasaan masyarakat. Dengan dukungan pemerintah yang memiliki visi lingkungan hidup, saya yakin hal ini bisa terwujud. Buktinya Kota Curitiba di Brasil dan Bogota di Kolombia yang sama-sama negara berkembang bisa menerpkan sistem tersebut.
Itulah pentingnya visi. Banyak yang berpengalaman, tapi hanya sedikit yang bisa mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut untuk membangun visi perbaikan.
Best Regards,
Februari 8, 2009 pada 1:21 pm
Eka
Assalamualaikum pak. . .
Saya Eka, murid SMP 12 Bandung, kelas 9E.
Saya disuruh membuat karya tulis yang temanya lingkungan. Kebetulan saya mengambil subtema PLTSa. Saya ingin tau lebih banyak lagi tentang PLTSa dan kontroversinya. Kalo boleh, saya dan teman – teman saya mau mewawancarai bapak. Apakah bapak bersedia?
Terima kasih. . .
Maret 6, 2009 pada 9:19 am
anak fttm yang sedang H2C_Harap Harap Cemas
Pak, dari stand pameran DiesEmas kemaren, saya dapat info kalau energi yang dihasilkan itu sekitar 7 MW. Penggunaannya itu untuk daerah mana? Kota/Kabupaten Bandungkah? Dan yang terpenting jangan sampai tenaga yang diperlukan >>> dari tenaga yang dihasilkan. Rugi dong kalo gitu.
Maret 6, 2009 pada 9:22 am
anak fttm yang sedang H2C_Harap Harap Cemas
Kalau memang teknologi PLTSa ini berguna bagi kemaslahatan umat, menurut saya segera dijalankan saja. Jangan banyak ini itu
Agustus 31, 2009 pada 1:44 pm
mvgsite
html kod kralı mvg site html kod kralı
November 20, 2009 pada 12:16 pm
the chocz
-memuluung jadi rugi dongg krnn sampah.a di ambil ma PLTsa….-bagaiman solusi.a….
November 21, 2009 pada 10:04 am
taufikurahman
ya pasti, harusnya pemulung diberdayakan
November 30, 2009 pada 12:54 pm
the chocz
apakah bapa sendiri yang akan memperbayakan pemulung itu???????????atw oleh pemerintah bandung……….
April 5, 2010 pada 12:55 pm
Aa yg peduli
Hmm.. menarik bangety kalau baca tentang kontroversi PLTSa ini…
Di satu sisi, PLTSa mengurangi volume sampah yang ada, tapi di sisi lain, banyak masyarakat yg kurang setuju. Yang perlu kita pikirkan adalah kalau seandainya PLTSa itu berbahaya, kenapa di negara maju seperti Singapura berani menggunakan PLTSa???
Pengolahan sampah yang terbaik ga cuma dilakukan di hilir atau di hulu nya saja, tapi harus menyeluruh dan total, kalo ga gitu ga bakal ada beresnya. usul saya, pemkot mungkin bisa mengadakan pengolahan kompos terpusat, jadi, pemilahan sampah udah dimulai dari rumah tangga, begitu diangkut, sampah2 itu tidak dicampur lagi, tapi dibawa sesuai jenisnya.
sampah organik yang bisa dikompos, diolah secara terpusat (klo dari daerah ga mau mending sekaligus saja sama pusat.) baru sampah2 sisa dibakar di incinerator( jangan dibakar sendiri, karena tmperatur pembakaran tidak terjaga, sehingga dioxin lebih mudah terbentuk). pemulung tetap memiliki peranan penting. mereka adalah pekerja yang memilah sampah sebelum di bawa ke PLTSa, jadi barng yg masih bisa terpakai, bisa dippilih sama mereka..
November 16, 2010 pada 8:21 pm
PEDULI
Kalo PLTSa Singapur asap sisa pembakaran langsung terbawa angin laut, sedangkan Bandung terletak di cekungan dan hasil polusinya murni untuk warga bandung.
Wilayah Bandung raya lebih luas daripada Singapur, sangat mudah menemukan lahan pembuangan sampah dengan sistem sanitary landfill asal tidak ada korupsi dalam pengelohannya. bukankah sangat mudah membuka hutan untuk Villa dikawasan Bandung utara demi kepentingan segelintir konglomerat asal ada uang untuk pejabat. seharusnya lebih mudah lagi membuka lahan untuk kepentingan rakyat semua. tujuh turunan rakyat akan menyuap anda (pejabat) bila anda melakukan hal terpuji.
Januari 26, 2011 pada 9:04 am
Rani
Asw pak Taufik, tulisan yang sangat bagus. Pak, kalau saya boleh tau, kenapa menurut bapak sampah organik sebaiknya dibuat kompos saja dibandingkan dibakar? trims
Agustus 15, 2012 pada 3:21 am
shelly asmauliyah
sayang banget sampah organiknya dibakar 😦
mending kalau pembakarannya sempurna kalau enggak lagi-lagi polusi, padahal sampah organik itu bisa jadi kompos dan menyuburkan tanah 😀
(bisa menggunakan takakura dan biopori)
Maret 14, 2011 pada 12:42 pm
andika
pak saya mau tanya kenapa PLTSa itu sampah organik nya di bakar ??
April 14, 2011 pada 10:57 pm
Ablech
Kenapa urusan sampah yang baik harus community based? Kapan government based? Kok pemerintah nggak kerja? Padahal sudah menghabiskan 70-80% uang negara.
Juli 22, 2011 pada 9:29 am
muzaqi Leres
ternyata zaman kejayaan majapahit n sriwijaya kerajaan2 di indonesia sudah pun menggunakan biomass sebagai sumber energy n sebagai komoditas..
Februari 28, 2013 pada 7:31 am
blumontego
kalo saya sih di liat dr sekarang alternatif yang memungkinkan utk di lakukan ya pltsa ini…
kalo hanya mengandalkan komunitas, sejauh mana sih bisa mengurangi sampah satu kota bandung yang ber ton ton?
dan kota bandung ya lumayan banyak sampah itu kalo ga segera di selesaikan dampak lingkungan terutama kesehatan masyarakat ny sendiri jg ikt terkena imbas ny secara ga langsung,,
mungkin kalo opini saya, pltsa yang akan di modali pemerintah pusat ini tetap di laksanakan, dan komunitas pengolah sampah juga di dukung,,dan agar penduduk sekitar pltsa tidak d rugikan, mereka di relokasi ketempat lain.. karena kalo tidak ada solusi yang mempunyai pengaruh besar dengan segera, masalah sampah ga cuma di calon lokasi pltsa tp d seluruh kota bandung efeknya
IMHO
Desember 20, 2013 pada 1:58 pm
Ira-tech Riset Pewaktu
pembangunan PLTSa akan menjadi sangat merugikan apabila kita tidak mengusai teknik daurulang..dan jangan sampai kita membelinya dari manapun…!!
September 4, 2015 pada 3:26 pm
Kang Asep Setiadi Husen
Sebenarnya teknologi PLTsa yang benar akan sangat membantu dan menguntungkan masyarakat Kota dan Kabupaten Bandung. Bisa dilakukan studi banding oleh pihak Pemda, DPRD, Perguruan Tinggi seperti UPI, ITB, UNPAD untuk bersama sama secara sinergi mempelajari secara utuh ke negera negara yang sudah sukses menggunakan PLTsa, seperti negara-negara Skandinavia dimana mereka malah secara khusus meng-impor sampah untuk bahan bakar PLTsa nya, terus Singapura sebagai negara tetangga terdekat yang sudah menggunakan PLTsa, sehingga pembangunan PLTsa di Kota dan Kabupaten Bandung PLTsa nya betul-betul bermanfaat. Penggunaan sampah organik sebagai bahan bakar PLTsa jauh lebih aman dan bersih dibandingkan dengan PLTU Batubara yang sudah digunakan oleh berbagai industri di negara kita ini.